Upaya Difabel Hapus Stigma Lewat Mendaki Gunung
Sepuluh orang difabel yang tergabung dalam kelompok pecinta alam Difpala berkumpul di lahan parkir Kebun Teh Wonosari, Lawang, Kabupaten Malang Jawa Timur, Kamis (24/04). Hari itu, mereka berencana mendaki Puncak Buduk Asu setinggi kurang lebih 2.000 meter agen judi bola di atas permukaan laut (mdpl). Buduk Asu adalah lereng dari Gunung Arjuno yang berketinggian 3.339 mdpl.
Kelompok mereka, yakni Difabel Pecinta Alam atau Difpala, dibentuk pada Juni 2020, atas dasar keinginan salah seorang anggota difabel netra untuk bisa naik gunung. Dari sinilah kemudian muncul semangat untuk menghapus stigma terhadap difabel melalui pendakian gunung.
Pagi itu mereka mendengarkan arahan dari Kertaning Tyas alias Ken Kerta, selaku pembina Difpala. Tepat 08.45 WIB, mereka pun memulai perjalanan. Rute perjalanan sendiri didominasi oleh pemandangan perkebunan teh dengan jalan berbatu.
Sebelum sampai di pos pertama sebelum puncak, mereka beristirahat 6 kali. Di pos tersebut, mereka sempat berdiskusi untuk memutuskan rute ke puncak, karena ada dua rute yakni rute landai dengan jalur memutar dan rute menanjak dengan kemiringan 65 derajat. Rute menanjak ini dinamai Jalur Demit (setan).
Mereka pun memutuskan untuk menempuh Jalur Demit dengan pertimbangan efisiensi waktu. Uniknya, keputusan ini diambil oleh Kholil dan Flora, anggota Difpala yang juga difabel netra. Mereka menyebut ingin mendapat tantangan baru.
Dengan aba-aba dari pendamping, keduanya melangkahkan kaki untuk menaklukkan rintangan yang ada. Kurang lebih pukul 12.00 WIB mereka pun sampai di Puncak Buduk Asu.
Sesampainya di puncak, mereka beristirahat sejenak sambil menikmati kopi lalu menanam pohon pule (Alstonia scholaris) di beberapa sudut sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian alam. Difpala sudah menanam lebih dari 870 pohon kebanyakan di antaranya adalah pohon pule. Selain itu ada juga pohon buah-buahan seperti mangga dan alpukat.
Setelah puas menikmati suasana puncak, sekira pukul 13.00 WIB mereka turun ke pos sebelumnya untuk makan siang. Dua jam kemudian, seluruh tim telah turun ke titik awal pendakian yakni Kebun Teh Wonosari.
Kertaning Tyas, pembina Difpala mengatakan kepada DW Indonesia bahwa pendakian ini adalah kegiatan rutin mereka. Selain untuk melestarikan alam, kelompok ini juga menjadi tempat bagi para difabel yang memiliki minat di bidang pecinta alam atau pendakian gunung.
“Kami ingin pelibatan difabel dalam pelestarian lingkungan. Dan difabel akan mendapatkan kesempatan yang luas untuk menyalurkan hobi mendaki gunung,” ujarnya.
Pada awalnya, hanya sembilan orang difabel yang tergabung dalam kelompok ini. Hingga kemudian berkembang menjadi 30 orang dan sekarang sudah mencapai lebih dari 50 orang. Mereka yang tergabung di Difpala tidak hanya dari wilayah Malang Raya, tetapi juga dari Pasuruan, Tulungagung, dan Kediri.
Meski memiliki anggota yang terhitung banyak, tidak semua anggota bisa mendaki gunung karena ada beberapa tahap yang harus mereka lampaui. Di antaranya ujian mental, fisik, serta izin keluarga.
“Ketiganya harus utuh. Jika satu saja tidak bisa, maka mereka tidak akan bisa mendaki gunung. Misalnya lolos ujian mental dan fisik namun tidak ada izin keluarga, maka dengan berat hati kami tidak bisa mengajak mereka untuk mendaki gunung,” terang pria yang akrab disapa Ken ini.
Sampai saat ini, hanya 16 orang yang terpilih sebagai anggota tim khusus Difpala. Tim inilah yang membawa misi menghapus stigma dan melakukan gerakan penghijauan di beberapa gunung seperti Gunung Wedon, Banyak, Butak, Kawi, Arjuna, dan Bukit Srigading.
Sedangkan anggota lain, mendapatkan kesempatan untuk naik ke puncak Gunung Wedon sekaligus penghijauan di kawasan tersebut. Gunung Wedon sendiri adalah “kampus” sekolah alam bagi anggota Difpala yang baru bergabung atau belum lulus dari ragam syarat yang ditetapkan.
“Bagi yang ingin bergabung dengan kami, wajib datang ke Omah Difabel dan harus berusia 18 tahun ke atas,” ungkap Ken. Flora Kaya Juwita, adalah salah satu difabel netra yang bergabung dengan Difpala. Ia tergolong baru bergabung sejak Desember 2021. Ia senang karena ada wadah untuk pengembangan dan pendidikan kepada warga difabel.
“Di tempat ini, kita bisa setara, sama dan tidak beda. Keterbatasan fisik bukan jadi keterbatasan diri,” ujar Flora.
Mantan penyiar radio ini sudah empat kali mendaki gunung bersama Difpala. Dua kali di Gunug Wedon dan masing-masing sekali di Putuk Lesung dan Buduk Asu. “Berkesan di Putuk Lesung karena hawanya lebih enak dan lebih asri,” kata perempuan kelahiran 1991 ini. Namun tantangan paling berat ia rasakan ketika mendaki Buduk Asu.
Mendaki gunung, kata Flora bukan soal mencapai puncak tapi lebih kepada tantangan dan misi yang dibawa. Baginya, mendaki artinya pengalaman baru dan tantangan yang berbeda. Puncak hanya sebagai bonus.
Sang suami yang juga difabel netra pernah ikut mendaki Gunung Wedon. Suaminya juga memberikan dukungan kepada Flora untuk terus memperjuangkan misi penghapusan stigma bersama Difpala.
Sebelumnya, Flora juga pernah naik beberapa gunung sebelum bergabung dengan Difpala. “Pernah naik gunung ke Gunung Bromo, yang lain saya lupa. Tiga sampai 4 kali, sekitar 2008-2010 atau saat masih SMA,” ungkap ibu dua orang anak ini.
Sementara Kholilulrohman merasa sebagai pria beruntung dalam hal mendaki gunung. Setelah sebelumnya hanya sebagai “pengawal” bagi sang istri. Pria yang akrab disapa Kholil ini malah ketagihan naik gunung dan hampir tidak pernah absen dalam kegiatan yang digelar Difpala.
Baginya, mendaki gunung adalah gambaran hidup. Untuk mencapai puncak ada perjuangan yang harus dilalui, sekalipun harus terjatuh. Tapi ketika sampai puncak, rasa lega dan bersyukur itu mengalahkan semua rasa lelah saat dalam proses perjuangan. Melalui pendakian ini, Kholil meminta agar masyarakat tidak memandang sebelah mata. Baginya, disabilitas tidak mau diciptakan seperti itu, tapi Tuhan pasti memiliki tujuan tertentu.
Sebelumnya, Kholil mengalami diskriminasi saat masih awal-awal menjalani proses pengobatan setelah mengalami kecelakaan pada tahun 2012 saat ia berusia 19 tahun, yang menyebabkan ia kehilangan penglihatan. Namun lambat laun diskriminasi itu hilang setelah Kholil membuktikan diri bahwa ia bisa mandiri. Menghapus stigma, bagi Kholil adalah ketika bisa menempatkan diri di tengah masyarakat.